NOTHING
Angin April menderu panjang, mendesak daun pintu memutar engselnya, sekali lagi menciptakan derusan datar ketika bercumbu dengan ubin. Pangkalnya menyergah dengan lantangnya hingga Deandra yang setengah termangut itu terkesiap menutur seuntai istighfar. Tak salah lagi, sebatang kayu usang yang tak kunjung tamat menggoda, yang sekalipun kayu teralis mengalun mendekapnya karena tak tahan dengan ulahnya itu, telah berlabuh di tepian kusen.
Termenunglah Deandra, terduduk di atas bilah-bilah kayu bakar di bilik gubuk. Ia tak kuasa mengerjap apalagi membelalak, tak kuasa menahan sepasang bola merah di wajahnya kerap kali dihinggapi debu-debu yang bertebaran. Lehernya tak ia gerakkan, tak mengalingkan pandangan, hanya sibuk mengusir setiap jelaga bekas tungku api yang menempel pada benda yang saat ini ia genggam. Seonggok kertas ternyata.
“Sudah lima tahun,” gumamnya.
Satu persatu ia menyeleksi lembaran-lembaran itu sambil mengenang kala yang lalu. Namun, lembaran merah jambu berhiaskan hati itu berhasil membuat pandangannya terhenti. Lalu, dibacanya keras-keras:
“04 April 2011. Di perjalanan ke sekolah, aku menahan kaki kiriku agar alas sepatu itu tak robek lebih besar lagi. Seribu satu cara aku memperbaikinya, namun tetap saja, alasnya itu sudah terlanjur menjuntai setiap kali aku menaikkan kaki. Terlebih lagi, aku harus berjalan beraspalkan lumpur becek setiap pagi buta dalam perjalanan ke sekolah. Menyebrangi sungai pun seolah sedang berdebat dengan maut.
Sebenarnya sepatu ini warisan mendiang ibu yang paling berharga, ia dapatkan sebagai buruh pencuci baju di kota. Itu pun sebagai hadiah dari salah seorang pelanggan karena katanya tak muat dikenakan puteranya. Namun karena itulah, aku berapi-api meneruskan sekolahku seperti yang ibuku dambakan. Karena jika tidak, aku sepertinya akan berakhir sebagai pengangkut belerang seperti ayahku.”
Suara Deandra yang datar berubah bergetar. Ia mendesah berat, menengadah, lalu membaca lagi.
“Sekolahku pun miskin. Pak Edi, guru mata pelajaran bahasa Indonesia, mengingatkan setiap saat supaya tidak boros dalam menggunakan kapur. Suatu kali ia pernah menjatuhkan sisa kapurnya yang hanya sebesar kacang parang, lalu diambilnya kapur itu untuk dilukiskannya satu huruf menggunakan ibu jari.
Hidupku penuh dengan keterbatasan. Aku benar-benar iri denganmu. Kau merupakan gadis yang sukses dan cerdas. Senyumanmu tulus tanpa beban tak sepertiku. Sebalur bedak putih menorehkan keelokanmu. Namun karena itulah, aku akan terus mengejar ketertinggalanku hingga menjadi seutuhnya dirimu.
Jika kau sedang membaca ini, kau mestinya sedang berada di gubuk reyot gudang masa laluku. Aku pun tak habis pikir, apa yang selalu aku bayangkan tentang dirimu. Hanya angan-angankah, atau kau benar-benar ada seperti yang kukira?
Namun berjanjilah satu hal! Jika itu benar kau—dan memang kau—setiap kali kau merasa putus asa, ingatlah aku, perjuanganku, dan bacalah suratku ini. Bantulah mereka yang senasib denganku. Kau tahu persis, karena aku adalah dirimu yang dulu.”
NOTHING
Reviewed by Unknown
on
21:33
Rating:
No comments