Jembatan Penghidupan


JEMBATAN PENGHIDUPAN
Sinar mentari menatap cakrawala dunia. Sinar kehidupan memancar keluar dari celah dua gunung di seberang timur. Petak sawah mulai terlihat . Padi yang mulai mengguning tampak segar dengan tetesan embun yang membasahi tubuh. Anak burung bermain  kejar-kejaran di angkasa. Terlihat induk mereka membasahi tubuh dengan mandi di selokan sawah. Gemricik suara air terjun terdengar. Bebatuan tertata rapi di dasar. Ikan bersorak-sorai dengan dingin air yang melekat.
Sungai kecil yang bermuara di lautan Hindia itu , di samping kanan-kirintya tumbuh pohon beraneka ragam belum terjamah bandit-bandit nakal dalam negeri. Ratusan bunga matahari mulai terbangun dari tidur panjang semalam. Kumbang hinggap di antara  ranting bunga melati. Kupu-kupu menyibukkan diri terbang kesana-kemari menyambut dunia baru. Gerombolan awan menyingkir, di gantikan bintang raksasa yang siap menemani sepanjang hari. Langit mulai membiru, torehan awan putih bergaris melukiskan karya Maha dahsyat Sang Pencipta.
Di pematang sawah terlihat dua petani bercengkerama. Terlihat mengasyikan. Sesekali mereka berjabat tangan menambah keharmonisan. Musim yang di nanti para petani segera tiba. Kesibukan berlipat ganda menanti mereka. Bejana beras akan terisi kembali, mengisi kantong kosong untuk pemenuhan hidup sehari-hari.
“Ibu, Ayo cepat. Aku sudah ditunggu “
“ Iya sayang sebentar. Ibu ambilkan tas sekolahmu dulu “
Terdengar suara teriakan anak berusia enam tahun memecah kesunyian di pagi itu.
Kesibukan di pagi hari mulai terasa. Pedagang mulai hilir mudik menjajakan dagangannya. Anak remaja mulai mengayuh sepeda menuju tempat menuntut ilmu. Guru berseragam lengkap yang terlihat rapi mulai berdatangan. Pejabat desa berpakaian coklat  mulai mengetuk pintu tempat mereka bekerja. Pegawai pabrik berbondong-bondong menuju tempat penghidupan. Canda tawa menghiasi perjalanan panjang mereka.
Dentuman keras arah barat daya menghentikan sejenak langkah mereka. Diatas sana, Tiga pesawat berukuran sedang melintas. Menjatuhkan tiga rongsokan warna hitam berukuran tiga kali tinggi badan orang dewasa. Cahaya langit berubah menjadi jilatan merah api setinggi gunung.  Burung berterbangan. Beberapa ekor kerbau lari tak beraturan. Angin panas dengan jilatan api membara menyebar ke radius dua ratus km  jauhnya. Jeritan manusia terdengar membabi buta.
Sekejab saja semuanya berubah. Hal indah itu telah sirna. Tak ada sekapur sirih yang mampu terucap. Bibir kelu . Jantung berhenti memompa darah sekian detik. Kiamat di hari indah itu tak bisa dielakkan. Tak ada panen padi. Semuanya luluh lantah. Kesemerawutan terjadi se antero negeri. Kebakaran mewarnai sudut setiap sudut desa . Puing – puing bangunan terhempas tak beraturan .  Mayat terbakar . Bergelimpangan seperti kelereng yang tak ada arti sama sekali. Ratusan pohon bergeliat mengering terpanggang api. Hewan peliharaan petani hangus tak berbentuk.
Mentari pagi itu menjadi saksi bisu keganasan manusia tak bernurani. Kekuasaan , keserakahan alasan utama membumihanguskan negeri bermanusiawi.
“ Abang tidak pulang. Kenapa abang duduk sendiri disini. Teman-teman sudah menunggu di jembatan itu “
Sentuhan halus tangan mungil itu membuyarkan lamunannya. Kenangan hitam itu menyesakkan dada. Bagaimana desa yang dulu seperti surga dunia kini tak lebih dari tempat pembuangan sampah manusia. Bau mayat tak terurus masih menjadi rasa tersendiri di indera penciuman manusia. Pejabat dunia seolah membisu untuk bertanggung jawab atas tragedi itu. Simpati terdengar, tanpa bukti untuk merealisasi. Negeri besar telah berjaya , memamerkan ribuan kekuatan bersenjata. Sandiwara kepentingan dimainkan layaknya permainan drama musikal di hari peringatan kemerdekaan .
“ Iya Sri sebentar “
“ Abang kenapa ? kenapa mata abang berair “
“  Abang berfikir, kenapa kita selamat dari bencana hebat lima tahun silam. Sedangkan ribuan mayat itu “
“ Abang sudahlah hentikan “
Sri memecah perkataan abang nya.
“ Kita manusia kuat yang diciptakan Tuhan. Kita tidak boleh mengeluh. Takdir Tuhan adalah Takdir terbaik kita. Orang tua kita pasti bangga melihat kekuatan kita sekarang. Peperangan itu adalah awal dari segalanya. Dan hari itu, Tuhan melihatkan kepada kita, dunia perkasa tidak selamanya berkuasa. Kita  yang berdiri disini adalah  penguasa terhebat. Berdiri dengan kaki yang tak tergoyah. Ada yang lebih penting dari ini . Abang tahukan apa itu “ .
 Sri menambah dengan panjang lebar, seolah berseminar di gedung terbaik di pelosok dunia.
“ Iya Sri . Abang tahu. Walaupun dengan satu mata ini, abang akan terus berjuang menatap masa depan yang lebih baik. Tidak akan pernah mengeluh sedikit pun. Fokus ke depan “
“ Iya bang. Dan saya Sri dengan satu kaki dan satu tangan ini . Sri akan berjalan pantang menyerah tanpa haluan. Merangkul masa depan. Masa depan kita bukan untuk di bayangkan . Namun masa depan kita untuk di wujudkan mulai dari sekarang. Sebagai Tuhan pendamping dan partner kehidupan kita “

Angin segar berhembus. Mengisi ruang kehampaan. Tuhan seakan mendengar langsung secara detail apa kata dua remaja tadi . Langit sore itu tersenyum manja. Membawa harapan-harapan insan manusia yang ternista.. Harapan itu mencul seperti api yang disiram minyak. Kompas kehidupan mulai bergerak
Dua remaja itu pergi , menyusuri tumpukan bangunan menuju jembatan penghidupan mereka. Jembatan yang tulus  menemanai selama lima tahun silam . menjadikan rumah untuk mereka dan mereka.
Kelak mereka adalah kunci perunbahan yang dikirim Tuhan. Merebut hak untuk kaum yang tertindas. Dunia akan tertakjub mendapatkan pemimpin dunia yang seperti pedang.

















Jembatan Penghidupan Jembatan Penghidupan Reviewed by Unknown on 23:21 Rating: 5

No comments